#6 - Ramadhan di Jepang (Part 2 : Algoritma Ramadhan)

Sedikit “lebay” dan ngga nyambung menamainya algoritma. Ya sudahlah. Sudah dua minggu ramadhan ini berlalu. Syiarnya memang tak seramai di Indonesia, tapi aku pun tak kalah punya cerita. Ramadhan disini memang berbeda. Puasanya tujuhbelas jam lamanya. Mulai pukul dua, hingga tujuh malam matahari mulai terbenam. Algoritma ramadhan, beginilah ia …

Jam biologis, begitu orang menyebutnya. Waktu natural yang dimiliki tubuh untuk mengatur metabolisme, mungkin. Aku pun tak terlalu paham. Ramadhan kali ini membuat aku harus berusaha menggeser jam biologis tersebut. Ketika di hari biasa aku sudah terlelap pukul sebelas, tidak kali ini. Aku harus berusaha untuk tetap terjaga hingga subuh tiba. Lumayan, bisa sambil menyelesaikan tugas maupun tilawah. Sudah dua minggu terakhir aku menerapkan pola ini. Tidur pukul tiga hingga delapan pagi. Lalu secepatnya bergegas menuju tempat “formal” untuk belajar, kampus. Bahkan tak jarang aku terlelap di kelas selama minggu pertama (walaupun di lain waktu memang sudah biasanya begini sih :v). Istirahat siang dimana kafetaria adalah tujuanku, sekarang aku punya waktu lebih untuk mereview pelajaran. Tak jarang setengah waktu isirahat siang ku gunakan untuk merefresh otak dan mata yang suka tak kompromi di minggu-minggu pertama penyesuaian ini.
Beginilah kira-kira jadwal shubuh dan maghrib selama ramadhan


Urusan perut pun tak perlu dikhawatirkan. Ramadhan memang penuh berkah, tak terkecuali berkah rezeki untuk perut ini. Rutin masjid menyediakan menu berbuka. Sehingga selesai kegiatan di kampus, segera aku kayuh sepeda menuju masjid. Lumayan, sembari menunggu adzan sembari tilawah beberapa halaman. Alhamdulillah. Tak jarang pula saudara-saudara yang berbagi rezeki “bento gratis”, dengan berbagai syaratnya. “Minimal tilawah setengah jus mulai dari maghrib hari ini sampai maghrib besok” adalah salah satunya. Lagi-lagi Alhamdulillah, tilawah dapat bento dapat. Akhir pekan pun tak kalah menarik. Silaturahmi Keluarga Muslim Indonesia Sendai (KMIS) di hari sabtu lengkap dengan siraman rohani dan menu buka yang sangat Indonesia. Sejenak mengobati rindu ini. Sedangkan di hari minggu, perut ini tak bisa menahan hasrat untuk berkali-kali “tanduk” alias tambah kala disuguhi berbagai macam olahan kambing atau sapi saat buka bersama ICCS (Islamic Cultural Center Sendai). Suasana ramadhan pun jadi lebih terasa ketika silaturahim berkumpul bersama saudara seiman.
Menu buka KMIS. Indonesia banget kaaan

Menu buka di masjid
Menu buka di masjid
Suasana buka bersama ICCS
Tilawah berhadiah pahala plus bento
Kebayang ga sih ngaduk gulai siang-siang rasanya kayak apa
Sebagai penutup, semoga algoritma ramadhan –algoritma diri ini agar lebih banyak beribadah dan optimal dalam memanfaatkan waktu- yang saya coba setting ke dalam tubuhku di ramadhan ini bisa terus berlanjut di bulan-bulan lainnya. Aamiin.

0 komentar: